Perempuan setengah baya itu, saya kira
berusia 40-45 tahunan. Dengan postur tubuh yang kecil, aku terus
memandangnya sampai hilang ditelan belokan…
Ada apa dengan wanita separuh baya itu ? Ada bayang-bayang kepenasaran yang selalu mengganggu fikiran.
Ah… Lagi-lagi wanita separuh baya itu,
dengan langkah terseok-seok, tatap mata penuh harap demi mengais setetes
rizki yang telah dihamparkannya. Raut kelelahan tidak menjadi
penghalang untuk terus berusaha dan berusaha.
Jam 23.30, di saat semua orang mulai ke
peraduan, dengan balutan selimut tebal penuh hangat, aku melihat wanita
separuh baya itu, pulang dari “tempat dia bekerja”, sorot mata yang
sepenuhnya yakin bahwa hari esok masih ada. Masih ada harapan untuk bisa
mendapatkan koin-koin yang lebih banyak lagi.
Sejenak aku berfikir, sambil menikmati
sebungkus nasi angkringan dan segelas teh hangat, ah betapa nikmatnya
yang aku rasakan sekarang ini. Jauh berbeda dengan yang aku lihat dari
wanita separuh baya itu. Aku, sepulang kerja seperti sekarang ini masih
bisa beristirahat dengan tenang. Tapi dia? Mungkin Istirahat adalah
barang termahal yang belum tentu dimilikinya karena esok senja sampai
larut malam harus kembali bergelut dengan waktu demi mempertahankan
kelangsungan hidupnya.
Dengan berbekal kotak 20 x 40 cm dia
terus menyusuri jalanan kota yang masih terbangun dengan aktivitas
malamnya. Berulangkali setiap malam aku melihatnya. Semakin penasaran…
Ditengah keterbatasan seperti itu, ada
jutaan harap yang bersemayam dalam pancaran mata yang sayu, dan tentunya
dengan segenap keyakinan kepada Sang Maha Pemberi Rizki…
Aku mengingat diri, dengan segala
kelebihan yang aku rasakan, dengan segala kemudahan yang aku dapatkan,
aku masih senantiasa merasa kurang, kurang dan kurang.
===
Ini masalah keyakinan terhadap makhluk
yang namanya rizki. Selama ini kita berfikir bahwa rizki sama dengan
uang. Padahal masih ada rizki-rizki lain dalam bentuk yang beragam,
Sehat, Kemudahan, Keluarga bahagia, karier yang mapan, selamat dari
marabahaya bahkan sakit pun bagian dari rizki.
Coba bandingakan dengan wanita separuh
baya itu. Aku yang punya segalanya, ruang kerja ber-AC, kemana-mana
dengan kendaraan, tapi dia ? hanya berbekal kotak kayu berisi jajanan
asongan, permen, tissue, rokok, that’s all. Itu saja. Berapa duit yang
bisa dihasilkan dalam semalam? Adakah bisa mencukupi untuk dirinya? Atau
bahkan keluarganya? Anaknya? Bahkan cucunya? Bahkan jalannya yang
terseok-seok seharusnya membuat aku berfikir untuk lebih bersyukur lagi.
Mengapa aku masih selalu saja merasa
kurang, Mengapa aku masih saja selalu merasa menjadi orang yang paling
menderita. Ah… betapa sangat tidak bersyukurnya aku… Bahkan hanya untuk
sekedar merasakan kebahagiaan dan kenikmatan sejatipun aku masih belum
bisa. Bandingkan dengan wanita separuh baya itu. Tidak ada beban dan
kekhawatiran mengenai hari esok. Hari esok akan terus berjalan,
keterbatasan bukan satu alasan dan penyebab akhir dari segalanya.
Mengapa aku masih belum yakin juga bahwa
setiap makhluk yang melata di muka bumi ini akan tercukupkan kebutuhan
hidupnya… Nikmat yang mana lagi yang telah aku dustakan. Bahkan hanya
sekedar mengucap sepatah kata syukur sebagai ungkapan terima kasih saja,
aku masih belum mampu. Lain halnya ketika aku menuntut untuk terus
diberi kecukupan yang lebih. Sekalinya aku diberi sedikit kekurangan
yang bersifat sementara, ribuan protes terus meluncur dari mulut tak
beradab ini, yang menjudge Tuhan tidak adil ! Tuhan tidak Sayang. Lebih
sayang kepada siapakah, aku atau Wanita separuh baya itu ? Sungguh
ketidaksopanan jika aku harus bersaing dengan wanita separuh baya itu
dalam mendapatkan perhatian dan cinta. Tidak tahu malu jika masih
menganggap diri lebih baik. Tentunya Wanita separuh baya itu lebih dari
segalanya. Lebih arif dalam menyikapi hidup … dan itulah sejatinya
kekayaan hati …
Dan Malam ini, Wanita separuh baya itu belum terlihat juga … kemanakah??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar