“Mas, bisa bantu hunting pembicara besok?”
“Wah, sory, besok ada praktikum”
“mBak, Bisa bantu mempersiapkan lomba anak-anak minggu depan?”
“Maaf Mas, Minggu depan ada responsi”
“Mas, Mbak dimohon kehadirannya dalam agenda rapat checking akhir bakti sosial pelayanan kesehatan”
“Maaf ada tugas”
“Sorry Bro, ada diskusi”
“Ga bisa hadir, mau mudik”
Seribu satu alasan langsung meluncur satu persatu, sampai sudah bisa ditebak alasan apalagi yang akan dikemukakan …
“Rapat…rapat…Rapat…ngurus ini ngurus itu, padahal kita jauh-jauh datang ke Jogja buat kuliah, bukan buat ngurusin hal yang seperti ini”
Lagi-lagi alasan, yang mengarah kepada opini publik kalau yang bersangkutan merasa paling disibukkan dan paling menderita dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya…
Ya, kita memang diamanahi oleh orang tua kita untuk belajar dan mencari ilmu sampai jenjang tertinggi jika mampu, salah satunya masuk perguruan tinggi yang notabene akan mencetak generasi pembawa perubahan yang lebih maju dan kritis. Mahasiswa sebagai Agen of Change.
Hal yang tentunya akan sangat membanggakan jika hasil dari kuliah kita membawa hasil dengan IPK tertinggi dengan lulusan sarjana yang summa cumlaude. Ah… betapa orang tua akan memamerkan keberhasilan ini kepada tetangga-tetangga, bahwa hasil perjuangannya tidak sia-sia…
Tapi mungkin ada yang lupa, apakah orang tua tahu dan faham apa yang telah dipelajari di Kampus kebanggaannya? Apakah orang tua memahami ke depannya akan menjadi sosok seperti apa yang diharapkan?
Tidak salah semua alasan-alasan di atas.
Tetapi ada satu hal yang harus kita planingkan agar apa yang menjadi harapan orang tua itu menjadi terwujud dan mempunyai nilai plus. Tidak saja pandai dan cerdas secara teori tetapi juga lihai secara praktis. Yang dimaksud lihai secara praktis adalah bagaimana kita bisa berbuat sesuatu untuk lingkungan dimana kita berada. Karena, untuk apa IPK tinggi tapi jika memimpin rapat pemuda saja kita masih kebingungan dan tidak percaya diri. padahal status kesarjanaan cumlaude dengan IPK empat koma (jika ada).
Mungkin selama masa kuliah, kita bisa memanfaatkan waktu untuk mencari pembelajaran lain di luar dunia kampus, mencari pengalaman bagaimana kita mengorganisir, bagaimana kita memanage sebuah lembaga kecil-kecilan, bagaimana kita tampil di hadapan Ibu-ibu PKK, bagimana kita menjadi Master of Ceremony di acara warga, bagaimana kita mengelola lembaga pendidikan seperti TPA (Taman Pendidikan al-Quran) dan semacamnya. Dan itu semua adalah nilai positif yang bisa dikembangkan jika suatu saat kita dituntut untuk pulang kampung. Hal yang lucu jika kita mengklaim lulusan Perguruan Tinggi Agama terkemuka, jika memimpin pengajian saja masih terbata-bata..hehehe.
Dan saya yakin di atas seratus persen, bahwa orang tua akan sangat sangat bangga atas skill plus yang dimiliki anaknya. Secara mereka “tidak mau tahu” apa yang telah diajarkan di sekolahan. Dan kita tahu, dunia kampus tidak mengajarkan skill-skill di atas. Itu murni pembelajaran yang didapat dari motivasi dan inisiatif kita sebagai orang yang diamanahi untuk belajar.
Bukan menafikan peran dan perjuangan kawula muda mahasiswa, tetapi saya justru bangga kepada Mahasiswa atau Generasi Muda yang mampu menunjukkan eksistensinya dalam bentuk yang ril di masyarakat, dibandingkan dengan demonstrasi-demontrasi tanpa judul yang berujung kepada tindak anarkis diluar batas… Yang hobinya tawuran antar jurusan, antar sekolah, antar perguruan tinggi. Dan saya angkat topi kepada Kawula Muda yang bisa eksis dalam mendampingi masyarakat serta memberikan “pencerahan” kepada mereka walau dengan IPK satu koma sekian … Waw…
Jadi, jika kita sudah termotivasi untuk mencari pembelajaran di luar sana, maka tidak akan ada alasan ini dan itu lagi, walau tidak dapat dipungkiri juga, kurikulum di Perguruan Tinggi sekarang lebih cenderung mengkebiri Mahasiswanya dengan tugas-tugas kampus terutama kewajiban hadir minimal 75 persen, yang akan mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa-mahasiswanya…
Dunia kampus yang hanya mencetak Mahasiswa Pandai secara akademis tetapi tidak cerdas dalam praktis…
Jadi kalau ada yang pandai secara akademis dengan IPK empat koma sekian, hanya satu statemen yang bisa saya berikan …
“Terus kalau IPK-nya tinggi, saya harus koprol sambil bilang Wow Gitu ???”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar