Hidup adalah pilihan. Apapun itu.
Sesuatu hal yang sifatnya positif atau negatif, tetap itu adalah
pilihan. Ada banyak motivasi kita dalam mengambil pilihan-pilihan itu,
baik karena tuntutan hidup, karena sesorang, hanya keisengan belaka,
atau niat yang tulus demi sesuatu yang hendak dicapai. Hanya dirinya
yang bersangkutan dan Tuhannyalah yang mengetahui apa motivasi di balik
itu semua. Dan pilihan-pilihan itu mempunyai sebuah konsekuensi yang
harus dipegang, konsekuensi yang harus dijaga dan konsekuensi yang harus
dipertanggung jawabkan…
Termasuk menjadi sosok seorang Ustadz.
Predikat Ustadz bukanlah sebuah gelar yang hendak dicapai oleh
seseorang. “Saya ingin dipanggil Ustadz” atau “Saya ingin menjadi
seorang Ustadz”. Karena sosok Ustadz, Kiai, Pendeta, Pastur, Guru dan
apapun itu namanya, sejatinya adalah gelar yang diberikan oleh khalayak
ramai, oleh masyarakat, oleh ummat kepada yang bersangkutan sebagai
wujud apresiasi terhadap sikap dan perilaku atau bentuk penghargaan
terhadap kiprahnya.
Menjadi seorang Ustadz bukanlah sesuatu
yang mudah untuk dijalani. Tidak cukup dengan bermodalkan sehelai
lembaran al-Quran, atau cukup dengan hafal bacaan al-Fatihah dengan
penampilan berpeci, berbaju koko dengan membawa tasbih kemana pun dia
pergi. Tetapi lebih dari itu, sosok dan perilaku yang harus dipegang
yang mencerminkan sosok Ustadz. Bagaimana sih sikap yang ideal
yang harus ditunjukkan oleh seorang Ustadz? Mungkin ini yang harus
dipegang dan difikir ulang sebagai sebuah konsekuensinya.
Tentu saja, sebelum kita menerjuni
sebuah “profesi” (memakai tanda petik karena menurut saya, menjadi
Ustadz bukanlah sebuah profesi), kita harus mempunyai motivasi dari
awal. Untuk apa, mau apa dan harus bagaimana. Ini sangat penting sekali,
mengingat - sekali lagi - konsekuensi berupa tanggung jawab yang harus
dipikul bukanlah perkara yang ringan. Sangat menodai Predikat Ustadz
jika sosok Ustadz itu sendiri berperilaku sebagaimana yang lainnya.
Lalu, apa bedanya?
Lalu, apakah seorang Ustadz harus
menjadi sosok yang suci yang bebas dari dosa? Saya katakan “Ya”. Ketika
kita mempunyai niat memasuki dunia “suci” seperti Ustadz, Guru, Pendeta,
Biarawati, dan sebagainya, maka totalitas adalah harga mati. Oleh
karena itu motivasi awal harus benar-benar melewati uji kelayakan.
Terlepas dari Ustadz adalah manusia, Ada hal yang harus kita pegang,
terlanjur basah, mandi sekalian. Itu mungkin peribahasa yang cocok yang
menggambarkan seseorang yang terjun di dunia dakwah yang siap dengan
resikonya.
Lantas apa yang membedakan Ustadz dengan
manusia yang lainnya. Intinya Sama. Mereka sama-sama manusia. Tetapi
ada yang membedakan ; perilaku. Bukan hendak mengklaim menjadi manusia
yang sok suci, tetapi berusaha untuk menjadi lebih baik. Itu kata yang
tepat !… …
Apakah Ustadz tidak boleh kaya? Karena
akan menimbulkan fitnah dan prasangka buruk? Atau Ustadz tidak boleh
matre, tidak boleh punya rumah mewah, tanah dimana-mana, jadi pengusaha,
karena Ustadz identik dengan kesederhanaan? Seorang Ustadz harus
memakai baju sederhana kalau perlu yang murahan, kemana-mana jalan kaki
maksimal pake sepeda motor tahun 70-an, rumah sepetak di rumah
kontrakan, kerja sebagai guru ngaji yang dibayar alakadarnya…
Atau Seorang Ustadz tidak boleh
ngumpul-ngumpul kongkow-kongkow, jalan kesana kemari refreshing,
nongkrong di keramaian? Karena seorang Ustadz seharusnya duduk terpaku
di Masjid sambil menghitung tasbih di tangan, jalan paling banter ke
pengajian, ngejar ta’lim dimana-mana, ngaji, ngaji dan ngaji, ceramah,
ceramah dan ceramah …
Atau Usatdz tidak boleh berinteraksi
dengan lawan jenis, karena berinteraksi dengan selain muhrim adalah
terlarang, berduaan dengan lawan jenis adalah pantangan, mendekati hal
yang akan menyebabkan terjerumus ke dalam perbuatan zina adalah tidak
boleh, karena seorang Ustadz haruslah berinteraksi dengan sangat sangat
terjaga kalau perlu mengisolasikan diri dari pergaulan agar tetap
terjaga harkat dan martabatnya… …??
Atau seorang Usatdz tidak boleh menjadi
seorang yang terkenal, karena kalau terkenal tidak ada bedanya dengan
artis yang diekspos sisi-sisi privasinya, karena kalau terkenal seorang
Ustadz akan menjadi komersial dengan mematok harga ceramah… … “Wani Piro?”
Atau Seorang Ustadz tidak boleh
berpolitik karena dengan berpolitik sama saja dengan melakukan perbuatan
kotor. Secara politik adalah kotor. Dengan berpolitik banyak Ustadz
yang terjebak ke dalam hedonisme dan terhanyut dalam arus kekuasaan,
terpesona dengan gelimangan harta dan silau sehingga korupsi … … Seorang
Ustadz akan mati kutu jika berhadapan dengan Harta, Tahta dan Wanita…
Seorang Ustadz harus menjadi sosok yang suci dan anti dosa … …
Seorang Ustadz bukan tidak boleh kaya,
tetapi yang penting bagaimana dia mendapatkan kekayaan itu dan bagaimana
dia memanfaatkan kekayaannya tersebut. Kekayaan untuk modal berdakwah
dan beramal. Karena untuk mendapatkan Sorga dan akhirat harus mempunyai
modal terlebih dahulu. Masuk sorga tidak gratis, Kawan… Beramal,
bersedekah, beribadah ; shalat, puasa, zakat, haji, adalah rangkaian
ibadah yang butuh harta kekayaan…
Seorang Ustadz tidaklah harus menjadi
sosok yang eksklusif dan mengisolir diri dari pergaulan. Dengan catatan,
dia bisa membawa lingkungan di sekelilingnya ke arah yang lebih baik,
bisa memberi warna dengan nilai positif, serta memoles maksud dan tujuan
berada di keramaian. Apakah hanya sekedar Having Fun atau ada upaya
menanamkan ruh untuk mendekatkan diri, mencari kebaikan dan kebenaran…
…??
Seorang Ustadz sebagai sosok penebar
kebaikan, mau tidak mau harus berinteraksi dengan siapapun termasuk
lawan jenis. Asal pola interaksi ini berbeda dengan interaksi yang
sering dilakukan oleh “orang lain”. Dan pola interaksi ini diharapkan
akan menjadi contoh bagi orang yang ada di sekelilingnya. Karena satu
perbuatan baik, lebih bermanfaat dan mengena dibandingkan dengan sejuta
kata yang mengandung kebaikan sekalipun. Atau sejuta kata kebaikan
menjadi sia-sia ketika disaat yang bersamaan seorang Ustadz memberikan
contoh yang tidak baik. Misal Seorang Ustadz mengajarkan kepada
santrinya bagaimana berinteraksi yang baik dengan lawan jenis, tetapi
disaat yang bersamaan seorang Ustadz tidak memberikan contoh bagaimana
interaski yang baik itu. Ambigu dan dualisme. Istilahnya Kaburo Maqtan.
Apakah layak jika seorang Ustadz duduk berduaan dengan tidak ada alasan
yang dibenarkan? Apakah layak seorang Ustadz jalan dengan bergandengan
tangan di tempat umum? Atau layakkan seorang Ustadz melakukan
kebohongan-kebohongan, kondisi di luar dan di dalam sangatlah berbeda…
atau melarang sesuatu dari apa yang dia lakukan? Ketika “orang lain”
melakukan hal yang sama, maka sebuah “kewajaran” secara mereka awam
terhadap ilmu agama, tetapi seorang Ustadz? Yang setiap saat sudah
kenyang dengan teori-teori kebaikan… Hanya masalah aplikasi saja.
Memang, kita tidak usah munafik yang mengatakan benci maksiat padahal
menyukainya. Tapi bukan berarti itu menjadi legitimasi untuk berbuat
vulgar. Lebih baik, Bagus Luar ya Bagus dalam. Sepakat ?
Seorang Ustadz bukan tidak boleh
terkenal, yang terpenting dengan popularitasnya itu bisa membawa sisi
positif sebagai publik figur yang bisa dicontoh. Dengan popularitas itu,
dia bisa menyebarkan kebaikan tanpa harus berkata-kata, sehingga jika
itu sudah bisa dipraktekkan, maka tidak ada lagi istilah Ustadz
selebritis… :-)
Dan Seorang Usatdz bukan tidak boleh
berpolitik, karena dengan berpolitik akan banyak hal yang bisa
diberikan, terkait kebijakan publik… Tentunya juga bisa menunjukkan
bahwa masih ada Pejabat-pejabat atau politisi-politisi yang bisa
diharapkan yang masih mempunyai hati nurani, demi kemasalahatan Umat.
Sekali Seorang Ustadz bersikap Negatif,
maka institusi di belakangnya akan dihujat habis-habisan, lembaga,
jabatan, bahkan agama pun bisa kena dampaknya. Jadi, sebelum memasuki
dunia ustadz, kuatkan hati, luruskan nat, bulatkan tekad agar dalam
perjalannya diberi keistiqamahan, sehingga tidak ada kata putus di
jalan. Sehingga gelar Ustadz tidak berubah menjadi Mantan Ustadz….
sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2013/03/13/manusia-itu-bernama-ustadz-542513.html
http://sosbud.kompasiana.com/2013/03/13/manusia-itu-bernama-ustadz-542513.html
Ibaratnya Terlanjur Basah ya mandi sekalian
BalasHapus